BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kata pendidikan karakter pasti sudah
akrab di telinga kita, saat ini semua system pendidikan yang ada di Indonesia
menerapkan pendidikan yang berbasis karakter. Saat ini mulai marak dibicarakan
mengenai pendidikan karakter. Tetapi
yang masih umum diterapkan mengenai pendidikan karakter ini masih pada taraf jenjang pendidikan pra sekolah (taman bermain
dan taman kanak-kanak). Sementara pada jenjang sekolah dasar dan seterusnya
masih sangat-sangat jarang sekali. kurikulum pendidikan di Indonesia masih
belum menyentuh aspek karakter ini, meskipun ada pelajaran pancasila,
kewarganegaraan dan sejenisnya, tapi itu masih sebatas teori dan tidak dalam
tataran aplikatif.
Pendidikan karakter sebenarnya bukan
hal yang baru. Sejak awal kemerdekaan, masa orde lama, masa orde baru, dan masa
reformasi sudah dilakukan dengan nama dan bentuk yang berbeda-beda. Namun
hingga saat ini belum menunjukkan hasil yang optimal, terbukti dari fenomena
sosial yang menunjukkan perilaku yang tidak berkarakter sebagaimana disebut di
atas. Dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Naional
telah ditegaskan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Namun tampaknya upaya
pendidikan yang dilakukan oleh lembaga pendidikan dan institusi pembina lain
belum sepenuhnya mengarahkan dan mencurahkan perhatian secara komprehensif pada
upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Pendidikan karakter itu sebenarnya
sangat bagus karena erat hubungannya dengan ketuhanan, hubungan sesama manusia,
dan hubungan manusia dengan lingkungan sekitarnya. Apabila system pendidikan
yang berbasis karakter ini berhasil diwujudkan dalam setiap bidang pendidikan
yang ada diseluruh Indonesia, maka akan mengasilkan dampak yang positif bagi kemajuan pendidikan nasional.
Sebagai upaya untuk meningkatkan
kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional
mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur,
jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual
dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan
jenjang pendidikan.
B. Rumusan
masalah
1.
Apa landasan teoritis yang mendasari
pendidikan karakter ?
2.
Apa pengertian pendidikan karakter ?
3.
Apa tujuan dari pendidikan berkarakter ?
4. Apa
saja dasar - dasar prinsip pengembangan pendidikan karakter?
5.
Adakah dampak pendidikan karakter bagi keberhasilan akademik
siswa ?
C. Tujuan
penyusunan
1.
Untuk mengetahui landasan teoritis
pendidikan karakter.
2.
Untuk mengetahui pengertian pendidikan karakter.
3.
Untuk mengetahui tujuan pendidikan
karakter.
4. Untuk
mengetahui dasar - dasar prinsip pengembangan pendidikan karakter.
5.
Untuk mengetahui dampak pendidikan karakter
terhadap keberhasilan akademik siswa.
BAB II
ISI
A. Landasan Teori
Pendidikan Berkarakter
A.1. Pendekatan Komprehensif dalam Pendidikan
Karakter
Kondisi masa
kini sangat berbeda dengan masa lalu. Pendekatan pendidikan karakter yang
dahuli cukup efektif, tidak sesuai lagi untuk membangun generasi sekarang dan
generasuinyang akan datang. Bagi genersi masa lalu, pendidikan karakter
bersifat indoktrinatif sudah cukup untuk
mengatasi prilaku- prilaku yang menyimpang pada norma- norma masyarakat, walaupun
hal iitu tidak dapat membentuk pribadi- pribadi yang memiliki kemandirian.
Indoktrinasi adalah sebuah proses yang dilakukan
berdasarkan satu sistem nilai untuk menanamkan gagasan,
sikap,
sistem berpikir, perilaku dan kepercayaan tertentu. Praktik ini seringkali
dibedakan dari pendidikan karena dalam tindakan ini, orang yang
diindoktrinasi diharapkan untuk tidak mempertanyakan atau secara kritis menguji
doktrin
yang telah mereka pelajari. Sebagai gantinya, diperlukan pendidikan karakter
yang memungkinkan subjek didik mampu
untuk mengambil keputusan secara mandiri dalam memilih nilai- nilai yang saling
bertentangan.
Strategi tunggal
tampaknya sudah tidak cocok lagi apalgi
yang bernuansa indoktrinasi. Pemberian teladan saja suah kurang efektif ,
karena sulitnya menentukan yang paling tepat dijadikan teladan. Dengan kata
lain diperlukan multi pendekatan atau
pendekatan komprehensif yang artinya
pendekatan dilakukan secara menyeluruh pada pendidikan karakter.
Istilah
komprehensif yang digunakan dalam pendidikan karakter mencakup berbagai aspek,
pertama, isinya harus komprehensif, meliputi semua permasalahan yang berkaitan
dengan pilihan nilai-nilai yang sifatnya pribadi sampai pertanyaan- pertanyaan
mengenai estetika secara umum.
Kedua, metodenya
harus komprehensif, termasuk didalamnya inkalkulasi (penanaman) nilai,
pemberian teladan, penyiapan generasi muda agar dapat mandiri dengan
mengajarkan dan memfasilitasi pembuatan keputsan moral yang bertanggung jawab.
Ketiga,
pendidikan karakter hendaknya terjadi
dalam keseluruhan pendidikan dikelas, dalam kegiatan ekstrakulikuler, dalam
proses bimbingan dan penyuluhan dan pada
semua aspek kehidupan.
Yang ke empat,
pendidikan karakter hendaknya terjadi melalui kehidupan dalam masyarakat, orang
tua, penegak hukum, polisi, dan organisasi kemasyarakatan, semua perlu
berpartisipasi dalam pendidikan
karakter.
A.2. Pembelajaran Terintegrasi
Pembelajaran
terintegrasi dapat memberikan pengalaman yang bermakna kepada peserta didik,
karena mereka menemukan sendiri konsep- konsep, ketrampilan –ketrampilan dan
nilai –nilai yang mereka pelajari dengan menghubungkan konsep- konsep dan
ketrampilan lain yang sudah mereka pahami sebelumnya. Konsep dan ketrampilan
tersebut dapat berasal di satu bidang studi (intra bidang studi) dan dapat pula
dari beberapa bidang studi (antar bidang studi).
A.3. Pengembangan Kultur
Sekolah
Guna menciptakan
kultur yang bermoral, perlu diciptakan lingkungan sosial yang dapat mendorong
peserta didik memiliki moralitas yang baik atau karatkter yang terpuji. Sebagai
contoh, apabila di suatu sekolah memiliki iklim yang demokratis, maka para
siswanya juga akan terdorong untuk bertindak secara demokratis.
B. Pengertian
Pendidikan Berkarakter
B.1.
Pengertian Pendidikan
Pendidikan
merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran, agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan
negara (UU No 20 Tahun 2003).
“Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”.
B.2.
Pengertian Karakter
Menurut
bahasa, karakter adalah tabiat atau kebiasaan. Sedangkan menurut ahli
psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang
mengarahkan tindakan seorang individu. Karena itu, jika pengetahuan mengenai
karakter seseorang itu dapat diketahui, maka dapat diketahui pula bagaimana
individu tersebut akan bersikap untuk kondisi-kondisi tertentu.
Dilihat dari
sudut pengertian, ternyata karakter dan akhlak tidak memiliki perbedaan yang
signifikan. Keduanya didefinisikan sebagai suatu tindakan yang terjadi tanpa
ada lagi pemikiran lagi karena sudah tertanam dalam pikiran, dan dengan kata
lain, keduanya dapat disebut dengan kebiasaan.
Istilah
tentang karakter dikemukakan oleh Thomas Lickona (1992) dengan memakai
konsep karakter baik. Konsep mengenai karakter baik (good character) dipopulerkan Thomas Lickona dengan merujuk pada konsep
yang dikemukakan oleh Aristoteles sebagai berikut “ ... the life of right conduct—right
conduct in relation to other persons and in relation to oneself” atau
kehidupan berperilaku baik/penuh kebajikan, yakni berperilaku baik terhadap
pihak lain (Tuhan Yang Maha Esa, manusia, dan alam semesta) dan terhadap diri
sendiri. Kehidupan yang penuh kebajikan (the
virtuous life) sendiri
oleh Lickona (1992) dibagi dalam dua kategori, yakni kebajikan terhadap diri
sendiri (self-oriented virtuous)
seperti pengendalian diri (self
control) dan kesabaran (moderation); dan kebajikan terhadap
orang lain (other-oriented virtuous),
seperti kesediaan berbagi (generousity)
dan merasakan kebaikan (compassion).
Lickona (2004) menyatakan bahwa secara substantif terdapat tiga unjuk perilaku
(operatives values, values in action) yang satu sama lain
saling berkaitan, yakni moral knowing,
moral feeling, and moral behavior.
Menurut Kemendiknas
Karakter sebagai nilai-nilai yang
khas-baik (tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, nyata berkehidupan baik, dan
berdampak baik terhadap lingkungan) yang terpatri dalam diri dan
terejawantahkan dalam perilaku
(Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa, 2010)
B.3. Pengertian
Pendidikan Karakter
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan
karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi
karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini
mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau
menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait
lainnya.
Berdasarkan
grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial
kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh
potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam
konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan
berlangsung sepanjang hayat.
Konfigurasi
karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut
dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) ,
Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and
kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity
development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut :

Berdasarkan
diagram diatas, pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan
dilaksanakan secara sistematis untuk menanamkan nilai-nilai perilaku peserta
didik yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama
manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap,
perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata
krama, budaya, dan adat istiadat.
Pendidikan karakter adalah
pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan
(cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona,
tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan
pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan.
Dengan pendidikan karakter, seorang
anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting
dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang
akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan
untuk berhasil secara akademis.
Jadi, pendidikan karakter atau budi
pekerti plus adalah suatu yang urgent untuk dilakukan. Kalau kita peduli untuk
meningkatkan mutu lulusan SD, SMP dan SMU, maka tanpa pendidikan karakter
adalah usaha yang sia-sia. Kami ingin mengutip kata-kata bijak dari pemikir
besar dunia.
Mahatma Gandhi memperingatkan
tentang salah satu tujuh dosa fatal, yaitu “education
without character”(pendidikan tanpa
karakter).
Dr. Martin Luther King juga pernah
berkata: “Intelligence plus
character….that is the goal of true education” (Kecerdasan plus karakter….itu adalah tujuan akhir dari pendidikan
sebenarnya).
Juga Theodore Roosevelt yang
mengatakan: “To educate a person in mind
and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan
otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat).
C.
Tujuan Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu
penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian
pembentukan karakter atau akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan
seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter
diharapkan peserta didik mampu secara
mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan
menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia
sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.
Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah pada
pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi,
kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga
sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas,
karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas.
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan
karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan
pendidikan akhlak. Tujuannya
adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga
masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik,
warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat
atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak
dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari
pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan
nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa
Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
D.
Dasar - Dasar Prinsip Pengembangan
Pendidikan Karakter
Dalam konteks mikro pada satuan
pendidikan, maka program pendidikan karakter perlu dikembangkan dengan
mendasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut :
1.
Berkelanjutan mengandung makna bahwa proses
pengembangan nilai-nilai karakter bangsa merupakan sebuah proses panjang
dimulai dari awal peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan.
2.
Melalui semua subjek pembelajaran, pengembangan diri, dan budaya satuan
pendidikan mensyaratkan bahwa proses pengembangan nilai-nilai
karakter dilakukan melalui kegiatan kurikuler setiap mata pelajaran/mata
kuliah, kokurikuler dan ekstra kurikuler. Pembinaan karakter melalui kegiatan
kurikule mata pelajaran/mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan
Agama harus sampai melahirkan dampak instruksional (instructional effect) dan dampak pengiring (nurturant effect), sedangkan bagi
mata pelajaran/ mata kuliah lain cukup melahirkan dampak pengiring.
3.
Nilai tidak diajarkan tapi dikembangkan (value is neither cought nor taught, it is learned) (Hermann,
1972) mengandung makna bahwa materi nilai-nilai dan karakter bangsa bukanlah
bahan ajar biasa. Tidak semata-mata dapat ditangkap sendiri atau diajarkan,
tetapi lebih jauh diinternalisasi melalui proses belajar. Artinya, nilai-nilai
tersebut tidak dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan seperti halnya ketika mengajarkan
suatu konsep, teori, prosedur, atau pun fakta seperti dalam mata pelajaran
tertentu.
4.
Proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan.
Prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan karakter dilakukan oleh peserta
didik bukan oleh guru/dosen. Guru/dosen menerapkan prinsip ”tut wuri handayani”
dalam setiap perilaku yang ditunjukkan peserta didik. Prinsip ini juga
menyatakan bahwa proses pendidikan dilakukan dalam suasana belajar yang
menimbulkan rasa senang dan tidak indoktrinatif.
E.
Dampak Pendidikan Karakter Terhadap
Keberhasilan Akademik Siswa
Mungkin banyak yang bertanya-tanya
sebenarnya dampak dari pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik?
Beberapa penelitian bermunculan untuk menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari
beberapa penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin,
Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership.
Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari
University of Missouri- St. Louis, menunjukan peningkatan motivasi siswa
sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan
pendidikan karakter.
Kelas-kelas yang secara komprehensif
terlibat dalam pendidikan karakter menunjukan penurunan drastis pada perilaku
negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.
Pendidikan karakter adalah
pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan
(cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona,
tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan
pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan.
Dengan pendidikan karakter, seorang
anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting
dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang
akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan
untuk berhasil secara akademis.
Sebuah buku yang baru terbit
berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001)
mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan
emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet
faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko
yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada
karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul,
kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi.
Hal ini sesuai dengan pendapat
Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen
dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh
kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan
emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol
emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia
pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa.
Sebaliknya para remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi tinggi
akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti
kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.
Pendidikan karakter di sekolah
sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter adalah di dalam
keluarga. Kalau seorang anak mendapatkan pendidikan karakter yang baik dari
keluarganya, anak tersebut akan berkarakter baik selanjutnya.
Selain itu Daniel Goleman juga mengatakan bahwa banyak orang
tua yang gagal dalam mendidik karakter anak-anaknya entah karena kesibukan atau
karena lebih mementingkan aspek kognitif anak. Namun ini semua dapat dikoreksi
dengan memberikan pendidikan karakter di sekolah. Namun masalahnya, kebijakan
pendidikan di Indonesia juga lebih mementingkan aspek kecerdasan otak, dan
hanya baru-baru ini saja pentingnya pendidikan budi pekerti / karakter menjadi bahan pembicaraan ramai.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan diatas,
maka kesimpulan yang dapat diperoleh adalah :
1. Landasan
teoritis belajar bermakna itu ada 3 point:
a.
Pendekatan komprehensif dalam pendidikan
karakter.
b.
Pembelajaran terintegrasi.
c.
Pengembangan kultur sekolah.
2. Pendidikan karakter merupakan
upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk menanamkan
nilai-nilai perilaku peserta didik yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa,
diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam
pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma
agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Pendidikan berkarakter
juga dilakukan secara berkelanjutan (continu).
3. Tujuan pendidikan karakter untuk
meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah
pada pencapaian pembentukan karakter atau akhlak mulia peserta didik secara
utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan.
4. Dasar
dasar prinsip pengembangan pendidikan karakter ada 4 point :
a. Berkelanjutan.
b. Melalui semua subjek
pembelajaran, pengembangan diri, dan budaya satuan pendidikan mensyaratkan
bahwa proses pengembangan nilai-nilai karakter dilakukan melalui kegiatan
kurikuler, kokurikuler dan ekstra kurikuler.
c. Nilai tidak diajarkan
tapi dikembangkan (value is
neither cought nor taught, it is learned) (Hermann, 1972).
d. Proses pendidikan
dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan.
5. Kelas-kelas
yang secara komprehensif menggunakan metode pendidikan berkarakter menunjukan
penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat
keberhasilan akademik. Dengan demikian, pendidikan berkarakter dapat
meningkatkan keberhasilan akademik siswa.
B.
Saran
1. Hendaknya
pendidikan berkarakter dikalangan sekolah lebih ditingkatkan agar mampu
mencetak siswa – siswi utuh yang berkarakter. Siswa –siswi inilah yang
kedepannya akan menjadi generasi penerus bangsa Indonesia, oleh karena itu
mereka harus memiliki good
character.
2. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.
3. Apabila
makalah ini ada kekurangan, mohon kritik dan masukan dari pembaca untuk
penyusun, agar penyusunan selanjutnya akan lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Darmiyati, dkk., Pendidikan
Karakter dengan Pendekatan Komprehensif
Terintegrasi dalam Perkuliahan dan Pengembangan Kultur Universitas,
Yogyakata : UNY press, 2010.
Direktur
Jenderal Mandikdasmen, Panduan Pendidikan Karakter d i
Sekolah Menengah Pertama, Jakarta
: 2010.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.