Welcome to my blog

Welcome to my blog

Selasa, 27 Desember 2011

Dampak Pendidikan Karakter Terhadap Keberhasilan Akademik


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kata pendidikan karakter pasti sudah akrab di telinga kita, saat ini semua system pendidikan yang ada di Indonesia menerapkan pendidikan yang berbasis karakter. Saat ini mulai marak dibicarakan mengenai pendidikan karakter.  Tetapi yang masih umum diterapkan mengenai pendidikan karakter ini masih pada taraf  jenjang pendidikan pra sekolah (taman bermain dan taman kanak-kanak). Sementara pada jenjang sekolah dasar dan seterusnya masih sangat-sangat jarang sekali. kurikulum pendidikan di Indonesia masih belum menyentuh aspek karakter ini, meskipun ada pelajaran pancasila, kewarganegaraan dan sejenisnya, tapi itu masih sebatas teori dan tidak dalam tataran aplikatif.
Pendidikan karakter sebenarnya bukan hal yang baru. Sejak awal kemerdekaan, masa orde lama, masa orde baru, dan masa reformasi sudah dilakukan dengan nama dan bentuk yang berbeda-beda. Namun hingga saat ini belum menunjukkan hasil yang optimal, terbukti dari fenomena sosial yang menunjukkan perilaku yang tidak berkarakter sebagaimana disebut di atas. Dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Naional telah ditegaskan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Namun tampaknya upaya pendidikan yang dilakukan oleh lembaga pendidikan dan institusi pembina lain belum sepenuhnya mengarahkan dan mencurahkan perhatian secara komprehensif pada upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.

Pendidikan karakter itu sebenarnya sangat bagus karena erat hubungannya dengan ketuhanan, hubungan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan sekitarnya. Apabila system pendidikan yang berbasis karakter ini berhasil diwujudkan dalam setiap bidang pendidikan yang ada diseluruh Indonesia, maka akan mengasilkan dampak yang positif  bagi kemajuan pendidikan nasional.
Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur,  jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan.

B.     Rumusan masalah

1.      Apa landasan teoritis yang mendasari pendidikan karakter ?
2.      Apa pengertian pendidikan karakter ?
3.      Apa tujuan dari pendidikan berkarakter ?
4.      Apa saja dasar - dasar prinsip pengembangan pendidikan karakter?
5.      Adakah dampak  pendidikan karakter bagi keberhasilan akademik siswa ?

C.     Tujuan penyusunan

1.      Untuk mengetahui landasan teoritis pendidikan karakter.
2.      Untuk mengetahui pengertian  pendidikan karakter.
3.      Untuk mengetahui tujuan pendidikan karakter.
4.      Untuk mengetahui dasar - dasar prinsip pengembangan pendidikan karakter.
5.      Untuk mengetahui dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik siswa.



BAB II
ISI

A.    Landasan  Teori  Pendidikan  Berkarakter

A.1. Pendekatan Komprehensif dalam Pendidikan Karakter
Kondisi masa kini sangat berbeda dengan masa lalu. Pendekatan pendidikan karakter yang dahuli cukup efektif, tidak sesuai lagi untuk membangun generasi sekarang dan generasuinyang akan datang. Bagi genersi masa lalu, pendidikan karakter bersifat indoktrinatif sudah cukup  untuk mengatasi prilaku- prilaku yang menyimpang pada norma- norma masyarakat, walaupun hal iitu tidak dapat membentuk pribadi- pribadi yang memiliki kemandirian.

Indoktrinasi adalah sebuah proses yang dilakukan berdasarkan satu sistem nilai untuk menanamkan gagasan, sikap, sistem berpikir, perilaku dan kepercayaan tertentu. Praktik ini seringkali dibedakan dari pendidikan karena dalam tindakan ini, orang yang diindoktrinasi diharapkan untuk tidak mempertanyakan atau secara kritis menguji doktrin yang telah mereka pelajari. Sebagai gantinya, diperlukan pendidikan karakter yang memungkinkan  subjek didik mampu untuk mengambil keputusan secara mandiri dalam memilih nilai- nilai yang saling bertentangan.  

Strategi tunggal tampaknya sudah tidak cocok lagi  apalgi yang bernuansa indoktrinasi. Pemberian teladan saja suah kurang efektif , karena sulitnya menentukan yang paling tepat dijadikan teladan. Dengan kata lain diperlukan  multi pendekatan atau pendekatan komprehensif yang artinya  pendekatan dilakukan secara menyeluruh pada pendidikan karakter.

Istilah komprehensif yang digunakan dalam pendidikan karakter mencakup berbagai aspek, pertama, isinya harus komprehensif, meliputi semua permasalahan yang berkaitan dengan pilihan nilai-nilai yang sifatnya pribadi sampai pertanyaan- pertanyaan mengenai estetika secara umum.
Kedua, metodenya harus komprehensif, termasuk didalamnya inkalkulasi (penanaman) nilai, pemberian teladan, penyiapan generasi muda agar dapat mandiri dengan mengajarkan dan memfasilitasi pembuatan keputsan moral yang bertanggung jawab.

Ketiga, pendidikan karakter  hendaknya terjadi dalam keseluruhan pendidikan dikelas, dalam kegiatan ekstrakulikuler, dalam proses bimbingan dan penyuluhan  dan pada semua aspek kehidupan.

Yang ke empat, pendidikan karakter hendaknya terjadi melalui kehidupan dalam masyarakat, orang tua, penegak hukum, polisi, dan organisasi kemasyarakatan, semua perlu berpartisipasi dalam  pendidikan karakter.

   A.2.  Pembelajaran Terintegrasi
Pembelajaran terintegrasi dapat memberikan pengalaman yang bermakna kepada peserta didik, karena mereka menemukan sendiri konsep- konsep, ketrampilan –ketrampilan dan nilai –nilai yang mereka pelajari dengan menghubungkan konsep- konsep dan ketrampilan lain yang sudah mereka pahami sebelumnya. Konsep dan ketrampilan tersebut dapat berasal di satu bidang studi (intra bidang studi) dan dapat pula dari beberapa bidang studi (antar bidang studi).

             A.3.  Pengembangan  Kultur  Sekolah
Guna menciptakan kultur yang bermoral, perlu diciptakan lingkungan sosial yang dapat mendorong peserta didik memiliki moralitas yang baik atau karatkter yang terpuji. Sebagai contoh, apabila di suatu sekolah memiliki iklim yang demokratis, maka para siswanya juga akan terdorong untuk bertindak secara demokratis.






B.     Pengertian  Pendidikan  Berkarakter

B.1. Pengertian Pendidikan
Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran, agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (UU No 20 Tahun 2003).

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”.

B.2. Pengertian Karakter
Menurut bahasa, karakter adalah tabiat atau kebiasaan. Sedangkan menurut ahli psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu. Karena itu, jika pengetahuan mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui, maka dapat diketahui pula bagaimana individu tersebut akan bersikap untuk kondisi-kondisi tertentu.
Dilihat dari sudut pengertian, ternyata karakter dan akhlak tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya didefinisikan sebagai suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran lagi karena sudah tertanam dalam pikiran, dan dengan kata lain, keduanya dapat disebut dengan kebiasaan.

Istilah  tentang karakter dikemukakan oleh Thomas Lickona (1992) dengan memakai konsep karakter baik. Konsep mengenai karakter baik (good character) dipopulerkan Thomas Lickona dengan merujuk pada konsep yang dikemukakan oleh Aristoteles sebagai berikut “ ... the life of right conduct—right conduct in relation to other persons and in relation to oneself” atau kehidupan berperilaku baik/penuh kebajikan, yakni berperilaku baik terhadap pihak lain (Tuhan Yang Maha Esa, manusia, dan alam semesta) dan terhadap diri sendiri. Kehidupan yang penuh kebajikan (the virtuous life) sendiri oleh Lickona (1992) dibagi dalam dua kategori, yakni kebajikan terhadap diri sendiri (self-oriented virtuous) seperti pengendalian diri (self control) dan kesabaran (moderation); dan kebajikan terhadap orang lain (other-oriented virtuous), seperti kesediaan berbagi (generousity) dan merasakan kebaikan (compassion). Lickona (2004) menyatakan bahwa secara substantif terdapat tiga unjuk perilaku (operatives values, values in action) yang satu sama lain saling berkaitan, yakni moral knowing, moral feeling, and moral behavior.

Menurut Kemendiknas
Karakter sebagai nilai-nilai yang khas-baik (tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, nyata berkehidupan baik, dan berdampak baik terhadap lingkungan) yang terpatri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku  (Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa, 2010)

B.3. Pengertian Pendidikan Karakter
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.

Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat.
Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut :


Berdasarkan diagram diatas, pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk menanamkan nilai-nilai perilaku peserta didik yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan.

Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Jadi, pendidikan karakter atau budi pekerti plus adalah suatu yang urgent untuk dilakukan. Kalau kita peduli untuk meningkatkan mutu lulusan SD, SMP dan SMU, maka tanpa pendidikan karakter adalah usaha yang sia-sia. Kami ingin mengutip kata-kata bijak dari pemikir besar dunia.
Mahatma Gandhi memperingatkan tentang salah satu tujuh dosa fatal, yaitu “education without character(pendidikan tanpa karakter).
Dr. Martin Luther King juga pernah berkata: “Intelligence plus character….that is the goal of true education(Kecerdasan plus karakter….itu adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya).
Juga Theodore Roosevelt yang mengatakan: “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society(Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat).

C.     Tujuan Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter atau akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik  mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.

Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas.

Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.

D.    Dasar - Dasar Prinsip Pengembangan Pendidikan Karakter

Dalam konteks mikro pada satuan pendidikan, maka program pendidikan karakter perlu dikembangkan dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut :
1.      Berkelanjutan mengandung makna bahwa proses pengembangan nilai-nilai karakter bangsa merupakan sebuah proses panjang dimulai dari awal peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan.
2.      Melalui semua subjek pembelajaran, pengembangan diri, dan budaya satuan pendidikan mensyaratkan bahwa proses pengembangan nilai-nilai karakter dilakukan melalui kegiatan kurikuler setiap mata pelajaran/mata kuliah, kokurikuler dan ekstra kurikuler. Pembinaan karakter melalui kegiatan kurikule mata pelajaran/mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama harus sampai melahirkan dampak instruksional (instructional effect) dan dampak pengiring (nurturant effect), sedangkan bagi mata pelajaran/ mata kuliah lain cukup melahirkan dampak pengiring.
3.      Nilai tidak diajarkan tapi dikembangkan (value is neither cought nor taught, it is learned) (Hermann, 1972) mengandung makna bahwa materi nilai-nilai dan karakter bangsa bukanlah bahan ajar biasa. Tidak semata-mata dapat ditangkap sendiri atau diajarkan, tetapi lebih jauh diinternalisasi melalui proses belajar. Artinya, nilai-nilai tersebut tidak dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan seperti halnya ketika mengajarkan suatu konsep, teori, prosedur, atau pun fakta seperti dalam mata pelajaran tertentu.
4.      Proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan. Prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan karakter dilakukan oleh peserta didik bukan oleh guru/dosen. Guru/dosen menerapkan prinsip ”tut wuri handayani” dalam setiap perilaku yang ditunjukkan peserta didik. Prinsip ini juga menyatakan bahwa proses pendidikan dilakukan dalam suasana belajar yang menimbulkan rasa senang dan tidak indoktrinatif.

E.     Dampak Pendidikan Karakter Terhadap Keberhasilan Akademik Siswa
Mungkin banyak yang bertanya-tanya sebenarnya dampak dari pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik? Beberapa penelitian bermunculan untuk menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari beberapa penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership. Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter.
Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukan penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.

Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan.
Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Sebuah buku yang baru terbit berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi tinggi akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.
Pendidikan karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter adalah di dalam keluarga. Kalau seorang anak mendapatkan pendidikan karakter yang baik dari keluarganya, anak tersebut akan berkarakter baik selanjutnya.

Selain itu Daniel Goleman juga mengatakan bahwa banyak orang tua yang gagal dalam mendidik karakter anak-anaknya entah karena kesibukan atau karena lebih mementingkan aspek kognitif anak. Namun ini semua dapat dikoreksi dengan memberikan pendidikan karakter di sekolah. Namun masalahnya, kebijakan pendidikan di Indonesia juga lebih mementingkan aspek kecerdasan otak, dan hanya baru-baru ini saja pentingnya pendidikan budi pekerti / karakter  menjadi bahan pembicaraan ramai.

























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan diatas, maka kesimpulan yang dapat diperoleh adalah :

1.      Landasan teoritis belajar bermakna itu ada 3 point:
a.       Pendekatan komprehensif dalam pendidikan karakter.
b.      Pembelajaran terintegrasi.
c.       Pengembangan kultur sekolah.

2.  Pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk menanamkan nilai-nilai perilaku peserta didik yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Pendidikan berkarakter juga dilakukan secara berkelanjutan (continu).

3. Tujuan pendidikan karakter untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter atau akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan.

4.      Dasar dasar prinsip pengembangan pendidikan karakter ada 4 point :
a.       Berkelanjutan.

b.  Melalui semua subjek pembelajaran, pengembangan diri, dan budaya satuan pendidikan mensyaratkan bahwa proses pengembangan nilai-nilai karakter dilakukan melalui kegiatan kurikuler, kokurikuler dan ekstra kurikuler.

c.  Nilai tidak diajarkan tapi dikembangkan (value is neither cought nor taught, it is learned) (Hermann, 1972).

d.      Proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan.

5.  Kelas-kelas yang secara komprehensif menggunakan metode pendidikan berkarakter menunjukan penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik. Dengan demikian, pendidikan berkarakter dapat meningkatkan keberhasilan akademik  siswa.

B.     Saran

1.      Hendaknya pendidikan berkarakter dikalangan sekolah lebih ditingkatkan agar mampu mencetak siswa – siswi utuh yang berkarakter. Siswa –siswi inilah yang kedepannya akan menjadi generasi penerus bangsa Indonesia, oleh karena itu mereka  harus memiliki  good character.

2.      Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.

3.      Apabila makalah ini ada kekurangan, mohon kritik dan masukan dari pembaca untuk penyusun, agar penyusunan selanjutnya akan lebih baik.






DAFTAR PUSTAKA


Darmiyati,  dkk., Pendidikan Karakter dengan Pendekatan Komprehensif  Terintegrasi dalam Perkuliahan dan Pengembangan Kultur Universitas, Yogyakata :  UNY press, 2010.

Direktur Jenderal Mandikdasmen,  Panduan Pendidikan Karakter d i Sekolah Menengah Pertama, Jakarta : 2010.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem  Pendidikan Nasional.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar